Suluk Maleman Soroti Krisis Akhlak di Era Instan

5
0

Dunia yang serba instan dengan segala kemudahannya ternyata menyimpan sisi gelap yang mengkhawatirkan, yakni potensi melemahnya akhlak manusia. Padahal, akhlak merupakan fondasi penting bagi individu, masyarakat, dan bangsa.

Isu krusial ini menjadi topik utama dalam Suluk Maleman edisi ke-160 yang bertajuk “Hikayat Negeri Berkabut”, digelar di rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu (19/4/2025).

Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba’asyin, membuka diskusi dengan menyoroti akar permasalahan, yakni terpecahnya fokus manusia.

Di era digital ini, banjir informasi dan hiburan di media sosial yang datang silih berganti dengan cepat membuat konsentrasi individu mudah teralihkan.

Padahal, pembentukan akhlak memerlukan fokus yang jelas dan berkelanjutan agar pembiasaan nilai-nilai luhur dapat terinternalisasi.

”Jangan lupa, membuat manusia tidak fokus adalah salah satu metode iblis,” tegas Anis, mengingatkan akan pentingnya menjaga pikiran dan hati dari distraksi yang tidak bermanfaat.

Anis menegaskan, tujuan Nabi Muhammad SAW ke dunia ini salah satunya juga untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.

Akhlak, lanjutnya, dicapai melalui pembiasaan yang dilakukan secara terus-menerus, menjadi pembeda esensial antara manusia dan binatang.

”Binatang tidak memerlukan pembelajaran untuk pembiasaan karena insting mereka diturunkan secara genetik,” tegasnya.

Menurut Anis, kecepatan dan ketidakjelasan informasi di era kini menjadi penghalang utama bagi manusia untuk membangun akhlak yang kokoh dan mengenali persoalan-persoalan mendasar dalam hidupnya.

Senada dengan Anis, narasumber Ali Fatkhan menduga kegagalan membangun akhlak bisa berakar dari ketakutan manusia untuk menghadapi kenyataan diri.

Ia mengibaratkan kondisi ini seperti orang yang takut memeriksakan kesehatan karena khawatir akan diagnosis buruk.

Sementara itu, Afthonul Afif menekankan pentingnya berpikir kritis sebagai langkah awal pembentukan akhlak yang baik.

Ia menilai bahwa masyarakat saat ini kekurangan mekanisme penyaringan informasi yang efektif, sehingga rentan terhadap bias kognitif dan menerima mentah-mentah segala informasi yang beredar.

”Saat ini ketika ilmu pengetahuan dan informasi diterima banyak orang kemudian diterima begitu saja tanpa proses screening yang baik. Kita tak pernah menanyakan status kebenarannya,” ujarnya.

Afif menyoroti ironi di mana negara-negara maju justru kembali menekankan pendidikan etika dan akhlak. Ia mencontohkan China, meskipun unggul dalam sains dan kecerdasan buatan (AI), tetap mewajibkan siswa sekolah dasar untuk menulis tangan.

Hal ini menunjukkan kesadaran akan pentingnya kemampuan bernalar yang mendasar bagi kemajuan bangsa. China bahkan memberikan fasilitas terbaik untuk penelitian neuroscience dan sains kognitif, melibatkan para ahli untuk memimpin inovasi di bidang AI.

Afif menyayangkan kurangnya kesungguhan pemimpin di Indonesia dalam memperbaiki sektor pendidikan dan membangun karakter bangsa. Ia berharap adanya gebrakan nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Menutup diskusi, Anis Sholeh Ba’asyin mengajak masyarakat untuk mengubah nilai-nilai yang ada menjadi lebih rohaniah.

Ia mengingatkan bahwa kecerdasan dan kemajuan ilmu pengetahuan tanpa dilandasi akhlak mulia justru dapat menjadi sumber bencana.

”Kita tak kan terdistraksi kalau punya akhlak mulia. Sains bisa dakik-dakik, tapi kalau manusia yang mengendalikannya berakhlak buruk, maka justru akan menjadi sumber bencana,” pungkas Anis.

Sumber:
http://berita.murianews.com/supriyadi/438004/suluk-maleman-soroti-krisis-akhlak-di-era-instan